
Judul Buku : Si Anak Cahaya
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun Terbit : Desember 2018
Jumlah Halaman : 417 halaman
Menilik perkembangan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dari sebuah narasi cerita novel tentulah menyenangkan. Kesenangan ini salah satunya bisa Anda peroleh ketika membaca beberapa bab di awal novel ‘mahkota’ dari serial Anak-Anak Mamak karya Tere Liye, Si Anak Cahaya.
Sebuah fakta tentang akses kesehatan yang terbatas serta ketergantungan pada pengobatan tradisional pada tahun 1950-an dipadukan dengan kisah keberanian si Mamak kala kecil. Meski tak dijumpai nama Mamak, yang tak lain ibu dari Eliana, Pukat, Burlian, dan Amelia, pembaca setia serial ini pasti peka jika Nurmas adalah sosok Mamak. Meski di buku-buku sebelumnya, sosok Mamak hanya dipanggil dengan Nung.
Identifikasi profil Mamak tadi menguat karena karakternya kental dengan rasa berani, teguh pendirian serta menjadi teladan di lingkungan tempat tinggalnya. Keberaniannya teruji ketika Nung seorang diri berangkat ke kota untuk menemui dokter Van Arken. Ayahnya jatuh sakit, namun tak mampu menempuh perjalanan ke kota yang membutuhkan waktu setengah hari.
Keputusan Nung untuk berikhtiar mencari obat ke dokter bukan tanpa hambatan. Ia menolak keras tawaran dari para sahabatnya, Jamilah, Siti, dan Rukayah untuk berobat ke Datuk Sunyan, sang dukun desa.
Keluarga Nung pun dicap tidak menghargai kearifan lokal karena lebih percaya suntikan dokter keturunan Belanda. Nyatanya, atas izin Tuhan, obat dan suntikan kimia menyembuhkan ayah Nung dari risiko kelumpuhan. Nung berhasil membuka mata masyarakat desanya bahwa ada ilmu-ilmu bersifat ilmiah yang bisa menyembuhkan penyakit fisik manusia ketimbang berharap kepada jampi-jampi serta hal-hal mistis.
Ilmu tentang reproduksi sejak dini juga diselipkan dalam novel ini. Nung dan ketiga sahabatnya diceritakan menjadi murid Nek Beriah, dukun anak di kampungnya. Jamilah disuruh mempraktikkan jadi ibu hamil yang sedang melahirkan anak. Kemudian Nung dan dua sahabat lainnya bergantian menjadi dukun cilik.
Rupanya karena wawasan anak-anak terbatas tentang alat reproduksi, mereka tidak menikmati prosesnya sekaligus tidak mengerti konteks tentang fungsi alat reproduksi perempuan. Walhasil, Nek Beriah urung mendapatkan kader-kader muda dukun beranak.
Selain banyak hal-hal tak terduga yang terjadi, buku ini sarat petuah. Butuh keteladanan nyata dari seseorang untuk mengubah sesuatu di sebuah lingkungan, meski sosoknya seorang anak berusia 11 tahun.
Pesan-pesan tersirat agar masyarakat menjauh dari takhayul, jimat, mengajarkan tentang arti kerja keras, kepedulian pada sesama, nilai-nilai ketuhanan. Meminta pertolongan bukan pada pohon, gunung, apalagi pada segala macam tempat larangan.
Latar setting tempat dan waktu cerita juga banyak menggambarkan pergolakan politik kala itu. Sosok Nung seolah-olah ikut terlibat secara langsung karena tidak sengaja menjadi saksi mata sekaligus penyelamat desanya dari kebrutalan kelompok komunis.
Editor : Prima Restri