Peringatan Dini Dari Tjandra

Profesor Tjandra Yoga Aditama produktif menulis tentang pandemi COVID-19. Catatan penting bagi pemerintah dan masyarakat.
Pertemuan Profesor Tjandra Yoga Aditama dengan pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) seperti ikan bertemu samudera luas. Tjandra begitu bersemangat dan mengamati perkembangan kasus demi kasus dengan antusias. Suasana itulah yang tampak dalam tulisan-tulisannya yang terhimpun dalam buku terbarunya, COVID-19 dalam Tulisan Prof. Tjandra.
Pengetahuannya sebagai dokter dan Direktur Kantor Regional Asia Tenggara (SEARO)Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di New Delhi, India sejak purna-tugas di Kementerian Kesehatan pada 2015 membuat Tjandra seperti ensiklopedia berjalan. Masalah pandemi COVID-19 sangat terang di matanya. Topik apa pun seakan dapat ditulisnya dalam sekejap. Itulah mengapa setelah pensiun dari SEARO WHO pada 30 September 2020, dia bisa mempublikasikan 36 tulisan di media massa dalam dua bulan (Oktober-November 2020). Artinya, rata-rata dia bisa menulis satu tulisan setiap dua hari. Itu suatu kerja yang sangat produktif bagi seorang profesor dan jelas tak mungkin dilakukannya ketika masih menjadi pejabat yang sibuk di WHO, apalagi di masa pandemi.
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu mengelompokkan tulisannya ke dalam tiga bab: Pencegahan, Deteksi dan Terapi; dan Bunga Rampai. Bab ketiga berisi berbagai artikel mengenai COVID-19 yang berhubungan dengan hal-hal lain yang tak terangkum dalam dua bab pertama, seperti penelitian mengenai virus tersebut, umrah, pariwisata, dan telemedicine.
Bab pertama dan kedua adalah bab terpenting dalam buku ini. Meski ditulis pada akhir 2020, banyak hal dalam bab tersebut yang masih relevan untuk saat ini dan barangkali dua-tiga tahun ke depan. Artikel Antisipasi Vaksin COVID-19, misalnya, memberi berbagai catatan penting bagi pemersintah dalam menyiapkan vaksinasi. Penekanannya dalam dua hal, yakni vaksin yang aman untuk semua orang dan efektif dalam mencegah penularan.
Tiga pertanyaan penting yang diajukannya juga adalah apakah proteksi vaksin itu benar-benar 100 persen atau mungkin hanya sebagian saja? Berapa lama proteksi itu akan bertahan? Apakah cara pemberiannya hanya sekali atau dua kali di awal?
Tiga pertanyaan ini harus diantisipasi pemerintah dalam suatu peta jalan vaksinasi yang memadai. Pertanyaan soal efektivitas proteksi vaksin itu kini mencuat karena berkaitan dengan hal yang kini menjadi pembicaraan publik, yakni efikasi dari vaksin CoronaVac buatan Sinovac Biotech Ltd dari Cina yang akan digunakan pemerintah Indonesia untuk memvaksin penduduknya. Tjandra mengutip sebuah penelitian pemodelan di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa kalau hanya dengan mengandalkan vaksin semata tanpa pembatasan sosial, maka vaksinasi perlu mencakup 100 persen penduduk—sesuatu yang amat sangat sulit dilakukan secara cepat. Kalau efektivitas vaksin hanya 60 persen dan hanya mencakup 75 persen penduduk, maka efektivitas vaksin haruslah setidaknya 80 persen.
Tjandra juga mempertanyakan soal seberapa lama proteksi vaksin itu bertahan. Menurut Tjandra, beberapa penelitian menyebutkan proteksi itu hanya dalam hitungan bulan. Bila penelitian ini benar, maka vaksinasi tidak bisa dilakukan sekali saja tapi harus beberapa kali dan dalam rentang waktu tertentu. Hal ini tentu berdampak pada biaya dan kebijakan lain, misalnya soal pembatasan sosial.
Artikel “Vaksin COVID-19, Efektifitas Akseptabilitas” juga mengulas soal lama proteksi vaksin terhadap tubuh. Berapa lama kekebalannya masih sulit dijawab karena pandemi baru berjalan sekitar setahun. Namun, beberapa laporan Ilmiah sudah mulai menyodorkan sejumlah kasus orang yang sembuh dan diasumsikan sudah punya antibodi tetapi kemudian ternyata jatuh sakit lagi dan bahkan sakitnya lebih berat, seperti kasus di Belanda dan Amerika Serikat. Kejadian infeksi ulang juga pernah dilaporkan antara lain di Hong Kong tapi sakit keduanya tidaklah lebih berat dari sakit pertama. Juga ada laporan dari India, Ekuador dan Belgia. Hal penting lain adalah keamanan vaksin. Jangan sampai ada orang yang disuntik vaksin lalu malah mendapat gangguan kesehatan lain yang serius. Masalah ini penting sehingga beberapa uji klinis kandidat vaksin COVID-19 dihentikan sementara karena muncul kasus, meskipun kemudian pengujian dilanjutkan setelah diketahui bahwa tidak ada hubungan antara gangguan kesehatan dengan vaksinasi yang diberikan. Vaksinasi di Indonesia juga perlu mengawasi terus menerus perkembangan kesehatan para penerima vaksin untuk memastikan bahwa vaksin tersebut benar-benar aman.