
Berbicara tentang hoaks, maka tidak lepas dari perbincangan seputar berita bohong atau disinformasi yang berkembang di masyarakat. Perkembangan hoaks berjalan seiring dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Hoaks sendiri sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18, yang secara historis dan etimologinya menunjukkan arti menipu dan memaksa. Sejak awal hoaks ini muncul sudah memiliki atribusi negatif yang mampu membuat orang lain termanipulasi dan teracuni akan sebuah informasi yang berkembang. Hoaks awalnya digunakan untuk merujuk sebuah informasi yang masih menjadi rumor atau gosip atau legenda urban yang bersamaan dengan bersemainya budaya oral manusia. Di mana pertukaran arus informasi digunakan dari percakapan mulut ke mulut. Tentu hal ini berkembang pesat di Indonesia.
Kenapa? Karena Indonesia memiliki budaya lisan yang cukup tinggi. Karakteristik masyarakat Indonesia yang guyub atau senang berkumpul untuk bermusyawarah dan membicarakan sesuatu secara bersama-sama membuat hal ini semakin berkembang biak di masyarakat. Kalau ada pepatah yang mengatakan “menitip uang kepada seseorang, bisa berkurang. Tapi menitip berita kepada seseorang bisa berlebih”. Pepatah yang berkembang di masyarakat ini melegalkan sebuah panggung besar dalam sebaran hoaks.
Jaringan internet dan media sosial menjadi fasilitator tercepat dalam penyebaran hoaks di masyarakat. Informasi-informasi yang kebenarannya belum diketahui atau bahkan bohong sama sekali, sudah dilahap secara langsung oleh masyarakat yang kesehariannya tidak lepas dari jaringan internet. Kecepatan informasi ini yang menurut Paul Virilio dalam teorinya Dromologi menyebutkan bahwa kemunculan teknologi menghancurkan batas-batas spasial dan jarak yang mengarahkan kepada percepatan sebuah perkembangan sarana komunikasi dan telekomunikasi. Karakteristik yang disebutkan Paul ini mengarah kepada teknologi internet khususnya media sosial dan media online yang karena kecepatannya pulalah, masyarakat tidak memiliki waktu lebih untuk mencerna kembali disinformasi yang didapat (Ritzer, 2003).
Kecepatan berita penyebaran hoaks di jaringan internet bermacam-macam. Mulai dari berita-berita ekonomi, politik, sosial, bahkan kesehatan yang menyeret berbagai disinfomasi mengenai pandemi COVID-19. Sejak awal muncul dan masuknya virus COVID-19 ke Indonesia, berita-berita hoaks membuat masyarakat semakin panik. Dikutip dari laman Kominfo, ada banyak berita hoaks yang ditemukan Kemkominfo salah satunya beredar sebuah unggahan yang mengatakan bahwa vaksin COVID-19 bisa menyebabkan kanker serviks. Unggahan tersebut diklaim berdasarkan sebuah video yang memperlihatkan seorang wanita menerima selembar surat untuk melakukan pemeriksaan kanker serviks secara teratur setelah divaksin. Faktanya, surat tersebut merupakan formulir dari Cancer Care Ontario, sebuah lembaga kesehatan dari Ontario, Kanada. Surat itu ditujukan kepada wanita di seluruh provinsi di Kanada untuk mengingatkan mereka agar melakukan tes Pap secara teratur untuk menyaring kanker serviks.
Dalam pemetaan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang dikutip dari laman Mafindo, sebuah organisasi masyarakat sipil mencatat ada 201 hoaks tentang virus COVID-19 yang menyebar selama 8 minggu mulai Januari hingga Maret 2020. Bayangkan sudah berapa banyak hoaks yang menyebar ke masyarakat selama 1 tahun lebih pandemi virus COVID-19 terjadi di dunia. Dari penelitian Mafindo tersebut menemukan bahwa sekitar 40% hoaks COVID-19 bertema tentang kesehatan, nutrisi dan bencana. Sementara dikutip dari laman Kemkominfo, terdapat 562 isu hoaks terkait COVID-19 yang tersebar di berbagai platform digital yang ditemukan Kemkominfo pada 20 April 2020. Jika sebarannya dihitung pada tiap media sosial populer, maka terdapat 1.231 hoaks yang ditemukan pada Facebook (861), Twitter (352), Instagram (10), dan Youtube (8). Hoaks mengenai virus COVID-19 telah menyebar secepat persebaran virus itu sendiri (Pulido Rodríguez et al., 2020). Hal ini berdampak pada respon masyarakat menerima pandemi COVID-19.