Pandemi Sebabkan Gangguan Tidur Meningkat

Peneliti Amerika Serikat menemukan gangguan tidur pada pasien COVID-19. Kondisi pandemi telah meningkatkan stres pada kebanyakan orang.
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menimbulkan dampak gangguan tidur pada 36 persen orang dewasa. Demikian laporan penelitian yang diterbitkan di Journal of Clinical Sleep Medicine sebagaimana ditulis Washington Post pada 24 Mei lalu. Penelitian tersebut melibatkan 54.231 orang di Negeri Abang Sam dan 12 negara lain dengan pasien COVID-19 yang paling banyak mengalami gangguan tidur.
“Yang paling terpengaruh adalah pasien COVID-19, yang 75 persen di antaranya mengalami gangguan tidur. Sekitar 36 persen di antaranya adalah petugas kesehatan dan 32 persen dari populasi umum yang juga mengalami masalah tidur selama pandemi,” tulis Washington Post.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyarankan kepada orang dewasa yang berusia hingga 64 tahun untuk tidur setidaknya tujuh hingga sembilan jam pada malam hari. Bagi yang berusia 65 tahun ke atas disarankan minimal tidur malam hari sekitar tujuh hingga delapan jam. Sayangnya, anjuran tersebut tidak dilakukan setidaknya oleh sepertiga orang dewasa dan dampaknya adalah berisiko terkena berbagai penyakit. Menurut Washington Post, selain membuat orang lelah keesokan harinya, kurang tidur meningkatkan risiko masalah kesehatan, seperti penyakit jantung, stroke, obesitas, diabetes, demensia, dan banyak lagi.
Coronasomnia
Pada 4 September lalu, Washington Post juga menerbitkan artikel tentang dampak pandemi pada kualitas tidur seseorang. “Para dokter dan peneliti melihat tanda-tanda bahwa virus itu merusak tidur orang-orang, ‘koronasomnia’, sebagaimana beberapa ahli sekarang menyebutnya,” tulis suratkabar Amerika itu.
Munculnya koronasomnia, menurut para ahli, disebabkan oleh meningkatnya stres dan gangguan terhadap rutinitas yang terjadi di masa pandemi. Sebagai ilustrasi, kamar tidur, yang seharusnya menjadi tempat istirahat dan bebas dari barang elektronik, sekarang juga digunakan oleh sebagian orang sebagai kantor darurat. Ditambah lagi, lanjut Washington Post, berita yang tidak berhenti seputar pandemi dan belum diketahui kapan krisis ini akan berakhit semakin memperparah orang yang sebelumnya telah memiliki masalah gangguan tidur atau insomnia.
“Pasien yang dulunya insomnia, pasien yang dulunya sulit tidur karena cemas, kini mengalami lebih banyak masalah. Pasien yang mengalami mimpi buruk memiliki lebih banyak mimpi buruk,” kata ahli saraf di UCLA Sleep Disorders Center, Alon Avidan. “Dengan COVID-19, kami menyadari bahwa sekarang ada epidemi masalah tidur.”
Para ahli mengatakan, dampak global pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berkepanjangan dapat memperluas tingkat insomnia kronis sehingga jauh lebih sulit untuk diobati. Menurut Direktur Pusat Penelitian Tidur di Université Laval di Quebec, Charles M. Morin, selain olahraga dan pola makan, tidur merupakan pilar kesehatan ketiga yang harus dipenuhi oleh setiap orang agar dapat hidup dengan nyaman. “Insomnia bukanlah masalah yang jinak. Dampak insomnia pada kualitas hidup sangat besar,” ujar Morin.