Menyalakan Optimisme

Pandemi COVID-19 memang bukanlah hal yang mudah dijalani karena telah mengubah pola kehidupan masyarakat. Namun hidup harus berjalan. Semua bisa dilewati seperti pandemi – pandemi lain yang pernah terjadi di dunia sebelumnya.
Adlai Stevenson (pada New York Time 8 Nov. 34 tahun 1963) mengatakan “would rather light a candle than curse the darkness“ (lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan). Kata mutiara di atas sangat tepat dan relevan untuk menggambarkan semangat optimisme seseorang dalam keadaan sulit, seperti terjepit dari sisi kesehatan dan ekonomi. Bahkan, ketika banyak kematian terjadi, terutama saat pandemi COVID-19 seperti sekarang ini.
Tepatnya, 4 Agustus 2021 telah genap lebih dari 100 ribu lebih kematian rakyat Indonesia sejak awal Maret 2020 karena wabah COVID-19 dengan total kasus 3.532.567. Diperkirakan kasus ini masih akan terus bertambah pada beberapa waktu ke depan, belum ada yang dapat memastikan sampai kapan. Apalagi adanya varian baru COVID-19 yang terdeteksi sudah masuk ke Indonesia, mulai dari varian Alfa dari Inggris, kemudian Beta dari Afrika Selatan, dan terakhir Delta dari India. Kemunculan varian baru ini membuat penularan virus semakin tinggi.
Kondisi ini, membuat masyarakat dari berbagai kalangan merasa tertekan, apalagi dengan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari 3 Juli 2021 hingga 9 Agustus 2021. Tak sedikit dari mereka harus berhenti bekerja atau menutup usahanya, seperti buruh, pengusaha restoran/cafe atau pengusaha pariwisata. Bahkan salah seorang Disc Jockey (DJ) asal Indonesia, Dinar Candy, baru-baru ini diberitakan nekat memakai bikini, mondar-mandir dipinggir jalan sambil membawa papan bertulis ‘saya stress karena PPKM diperpanjang’.
Nah, melihat betapa rasa sedih dan tertekan yang tercermin dari ungkapan kecewa dan frustasi masyarakat di atas, serta dampak kesehatan, ekonomi dan sosial yang mungkin akan berkepanjangan, ada baiknya kita merenung apa yang disampaikan oleh Adlai Stevenson 58 tahun lalu. Ungkapan ini bisa dijadikan sebagai ungkapan untuk membangkitkan optimisme dan menjauhi sikap kecewa dan putus asa karena pandemi COVID-19 yang berkepanjangan seperti saat ini.
Pantang Menyerah
Kejadian pandemi sudah sering terjadi sebelumnya, seperti Pes, Kolera, Flu Spanyol, Flu Asia, Flu Hongkong, HIV/AIDS, SARS, Flu Babi dan Ebola. Wening Widjayanti melalui website Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, Litbangkes, 5 Juni 2020 menjelaskan urutan kejadian pandemi tersebut. Wening mengurai pandemi Pes pertama terjadi pada tahun 541-542, kemudian tahun 1346-1353, terakhir Ebola tahun 2013-2016 yang menerjang negara Afrika Barat.
Belajar dari berbagai jenis pandemi yang pernah terjadi, tentu pandemi COVID-19, walau berbeda dengan pandemi sebelumnya, para epedemiolog sudah banyak literasi dan pengalaman yang lebih baik bagaimana cara mengendalikannya. Hanya saja, semua pihak butuh ketenangan, kehati-hatian dan bersinergi, mulai dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Bekerja dan berbuat sesuai dengan tugas pokok masing-masing. Semua mempunyai potensi untuk berbuat, minimal berdoa. Menumbuhkan optimisme dan pikiran positif dalam diri, keluarga, masyarakat dan warga bangsa.
Mari belajar dari Thomas Alva Edison, Ia pernah melakukan lebih dari 9.000 kali percobaan, tepatnya 9.998 kali, sebelum akhirnya menemukan bola lampu pijar. Sebagai penerang dunia yang kita rasakan hingga hari ini. Seandainya Thomas putus asa, kecewa, mengutuk dan menyerah lalu menghentikan percobaan yang ke 9.998 kali, pasti kita semua tak akan pernah merasakan bagaimana rasa terangnya dunia.
Sebab itu, jangan menyerah menghadapi pandemi COVID-19. Setiap kita punya pikiran, waktu, tenaga, harta seberapa pun besarnya. Pemerintah punya komitmen selalu hadir di tengah rakyat yang sedang kesulitan, khususnya pandemi COVID-19 ini. Kritiklah kebijakan pemerintah yang kurang tepat dan menyimpang, sehingga kembali kepada jalan kebersamaan, tidak diskriminatif dan berkeadilan untuk semua warga.
Selanjutnya, menjauhkan diri dari sikap penyangkalan (denial) terhadap keberadaan pandemi COVID-19, vaksin, protokol kesehatan dan berbagai upaya kesehatan untuk mengendalikan COVID-19. Kita harus memahami bahwa pandemi COVID-19 benar adanya. Semua penyakit ada obat dan cara pengendaliannya, sehingga pada saatnya yakin akan berakhir.
Tentu kita semua juga memahami, kebijakan pengendalian selama ini masih belum sempurna. Banyak kekurangan disana-sini, sikapi dengan lapang dada, bukan untuk dicaci dan dirundung, tapi perbaiki bersama-sama. Apabila semua pihak kompak, saling bergandengan tangan, saling meringankan, saling menolong dan berkolaborasi untuk fokus mengendalikan pandemi COVID-19. Dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa, Bangsa Indonesia dapat mengendalikan COVID-19 lebih cepat, efektif dan efisien.