Butuh Pengobatan yang Panjang

Proses pengobatan pasien TBC memerlukan waktu yang panjang. Butuh kedisiplinan pasien untuk kontrol rutin dan minum obat.
Secara umum penyakit tuberkulosis (TBC) dibedakan menjadi dua, yakni TBC sensitif obat dan TBC resisten obat. Jumlah penderita TBC sensitif obat lebih banyak dibandingkan yang resisten obat. Total kelompok pertama itu hampir 300 ribu kasus, sedangkan kelompok yang resisten obat sebanyak 7.900 kasus.
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, dr. Riyadi Sutarto, menyatakan bahwa angka kesembuhan pasien TBC sensitif obat mencapai 83 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan TBC resisten yang hanya 47 persen. “Angka kesembuhan (yang resisten obat) tidak terlalu menggembirakan, masih cukup kecil,” katanya. Untuk itu, penemuan TBC secara aktif harus dilakukan melalui investigasi dan pemeriksaan kasus kontak, skrining massal, dan skrining pada kondisi tertentu.
TBC menular melalui droplet dari batuk, bersin, maupun berteriak. Faktor risiko tertular semakin tinggi manakala pasien tidak menutup mulut maupun hidung serta tidak menggunakan masker ketika batuk karena bakteri TBC bisa bertahan beberapa jam di udara, terutama pada udara yang basah dan lembab. TBC hanya menular melalui droplet dan tidak menular melalui perantara lain, seperti barang-barang di sekitar kita.
Faktor risiko terinfeksi bakteri TBC akan sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh. Seseorang dengan status gizi dan pola hidup yang buruk akan lebih mudah terinfeksi TBC. Adapun beberapa faktor risiko yang meningkatkan kerentanan adalah faktor usia, baik usia lanjut maupun anak; faktor kesehatan pasien; faktor gizi; dan faktor ekonomi (misalnya tinggal di lingkungan padat dan ventilasi kurang baik).
“TBC termasuk penyakit kronis, sifatnya tidak akut. Gejalanya juga tidak tiba-tiba. Biasanya gejala yang kita temukan pada pasien sudah lebih dari dua minggu dengan gangguan lain, seperti sesak, nyeri dada, nafsu makan turun, dan berat badan turun. Pengobatannya pun juga cukup lama sehingga disebut penyakit paru kronis,” kata Riyadi.
Seseorang yang telah terinfeksi TBC ditandai gejala batuk selama dua minggu, sesak napas, dan berkeringat di malam hari tanpa aktivitas. Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala secara langsung saat tubuhnya terinfeksi. Gejala baru muncul berminggu-minggu pasca-infeksi yang ditandai dengan batuk berdahak dan bahkan sampai mengeluarkan darah.
Apabila memiliki gejala yang mengarah ke TBC, orang sangat dianjurkan untuk segera memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan guna mendapatkan penanganan sesegera mungkin. Penanganan yang tidak cepat dan tepat dapat menyebabkan bakteri TBC yang ada dalam tubuhnya menjadi kebal terhadap obat-obatan. Kondisi ini disebut dengan TBC resisten obat (TBC RO).
Dari segi pengobatan, TBC resisten obat jauh lebih sulit dibandingkan yang sensitif obat. Pengobatan pada TBC sensitif obat bisa dilakukan dengan menggunakan obat standar, sedangkan pasien dengan diagnosa resisten obat akan diobati jauh lebih lama dan sulit karena efek samping yang mungkin ditimbulkan saat pengobatan juga lebih banyak sehingga mereka membutuhkan penanganan ekstra.
Pengobatan penyakit TBC membutuhkan waktu yang panjang. Pasien harus menjalani pengobatan secara rutin minimal enam bulan dan dapat diperpanjang sesuai kondisi pasien.
Tak dapat dimungkiri, lamanya waktu pengobatan membuat pasien merasa jenuh dan bahkan ada pasien yang menjalani masa pengobatan beberapa bulan saja karena merasa kondisinya telah membaik. Fenomena inilah yang menyebabkan pasien TBC gagal dalam menjalani pengobatan dan berpotensi tinggi memperluas kerusakan paru. Dampaknya, ketika ia nanti sudah sembuh akan berbekas dan bahkan bisa mengganggu kualitas hidupnya.
“Penting bagi pasien tersebut untuk meminum obatnya secara teratur dan mengikuti anjuran dokter. Jangan berhenti sendiri karena merasa kondisinya sudah membaik atau karena efek samping dari obat TBC,” kata Riyadi.