
Ini adalah kisah seorang ibu yang melepaskan banyak hal untuk mencurahkan waktu dan tenaga bagi putrinya yang lahir dengan kelainan langka bernama sindrom Apert. Melalui proses pembelajaran yang tak mudah.
Jika ada yang bertanya, “Siapa yang ingin memiliki anak berkebutuhan khusus?” Saya yakin jawabannya, “Tidak ada”. Semua orang tua pasti mengharapkan anak yang sehat walafiat, fisik maupun mental. Anak yang saat dilahirkan seluruh anggota tubuh dan organ dalamnya lengkap dan berfungsi sempurna, bayi yang membawa kebahagiaan bagi semua yang menatapnya.
Bahkan jika calon orang tua ditanya ingin anak laki-laki atau perempuan? Jawabnya biasanya begini, “Jenis kelaminnya apa saja, yang penting lahir sehat dan lengkap semuanya.”
Lalu bagaimana jika ternyata anak yang di dalam kandungan ternyata tidak lengkap organ tubuhnya? Organ dalamnya tidak ‘sempurna’?
Saya pernah ada di posisi itu. Jawaban dari pertanyaan itu adalah hati orang tua bisa dipastikan sedih, bahkan seolah hancur, membayangkan kehidupan si anak di masa depan. Namun jika takdir Allah dijalankan dengan ikhlas dan bersyukur, maka semuanya akan baik-baik saja.
Tujuh tahun lalu, saya melahirkan seorang anak perempuan yang kondisinya berbeda dengan bayi-bayi lain pada umumnya. Kami menyematkan nama Aisyah padanya. Aisyah lahir dengan kelainan langka bernama sindrom Apert.
Saya pun memutuskan mengundurkan diri dari dunia kerja, cuti di luar tanggungan negara selama tiga tahun. Saat itu karier saya sedang bagus-bagusnya, namun Aisyah menjadi prioritas utama saya. Nothing else matter.
Tiba saatnya Aisyah lahir, dua minggu lebih awal. Tampilan fisik Aisyah berbeda: bentuk kepalanya tidak simetris karena ubun-ubun sudah menutup (craniosynostosis)—normalnya ubun-ubun menutup di usia 18 bulan setelah lahir—, jari-jari tangan menyatu (syndactyly) sempurna dan simetris, begitu pun jari-jari kakinya. Aisyah menangis keras saat lahir, tapi lalu masuk neonatal intensive care unit (NICU) karena kesulitan bernapas. Setelah 32 hari di ruang NICU dan ruang rawat bayi (perinatal care), alhamdulillah Aisyah bisa kami bawa pulang ke rumah.
Perjalanan dimulai. Usia 6 bulan, Aisyah menjalani operasi rekonstruksi tengkorak kepala untuk memberi ruang agar otaknya bisa berkembang dan matanya tidak buta. Aisyah pun menjalani rangkaian terapi untuk tumbuh kembangnya sambil menunggu informasi dari dokter untuk operasi kepala (craniotomy) tahap berikutnya. Saat Aisyah berusia 1,5 tahun, terdeteksi ada penumpukan cairan di kepalanya (hydrocephalus). Kembali Aisyah dioperasi untuk memasang ventriculoperitoneal (VP) shunt di tengkorak kepalanya dengan selang memanjang dari kepala ke lambung agar cairan yang menumpuk dapat terbuang melalui feses/kotoran.
Setelah pulih, Aisyah dijadwalkan menjalani rangkaian operasi pemisahan jari-jari untuk memaksimalkan fungsi jari Aisyah. Hingga usianya 7 tahun saat ini, Aisyah telah menjalani tujuh kali operasi, baik kepala maupun jemarinya.
Pada usia 7 tahun, Aisyah telah lulus TK, bisa berjalan, melompat, berlari, berkomunikasi verbal walaupun belum sempurna dalam pengucapan, bisa belajar membaca huruf latin dan Al-Quran, juga mampu menghafalkan doa-doa pendek. Sungguh semua kekhawatiran yang kami rasakan di awal kelahirannya saat ini tidak terbukti. Aisyah ternyata baik-baik saja dengan beberapa keterbatasan.
Bagi sebagian orang, kami dianggap orang tua “super”. Mungkin mereka melihat segala upaya yang kami tempuh. Mungkin juga mereka melihat betapa kami baik-baik saja, hidup normal, dan tidak terlihat kesusahan menjalani hari. Namun, sesungguhnya semua itu melalui proses pembelajaran yang tidak mudah.
Yang paling terasa sulit adalah menerima takdir, lalu ikhlas melepaskan banyak hal demi kebaikan Aisyah. Saya melepaskan jabatan, fasilitas, teman-teman, materi, mencurahkan waktu dan tenaga, terkadang hilang sabar menghadapi Aisyah dan segala “kekurangannya”. Namun setelah menjalani tujuh tahun bersama Aisyah, saya belajar bahwa janji Allah itu pasti:
1. Jabatan dan fasilitas tidak penting. Tanpa jabatan dan fasilitas kantor, saya ternyata baik-baik saja. Saya bahkan menjadi lebih dekat dengan keluarga dan lebih banyak waktu beribadah karena tidak dibebani dengan pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan kantor.
2. Teman-teman sejati akan tersaring dengan sendirinya. Banyak yang tak lagi menjadi teman saat saya bukan siapa-siapa di pekerjaan. Namun beberapa teman bertahan dan menjadi penguat kami di masa sulit, bahkan teman baru bertambah, para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus sungguh menjadi support system yang sempurna.
3. Materi berupa biaya yang dikeluarkan untuk perawatan Aisyah ternyata digantikan tunai oleh Allah. Suami saya mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan hingga kehidupan finansial kami baik-baik saja hingga saat ini.
4. Waktu dan tenaga yang dicurahkan terbayarkan dengan progres Aisyah yang luar biasa. Selama tujuh tahun saya menikmati waktu bersama Aisyah, memantau langsung milestone pembelajaran motorik dan kecerdasan emosionalnya.
5. Kesabaran dan syukur itu tidak sekonyong-konyong dimiliki, namun harus dipelajari melalui tahapan pembelajaran hidup dan pengalaman langsung. Terasa sekali, secara emosional dan spiritual, diri saya saat ini jauh lebih baik dibanding tujuh tahun lalu sebelum Aisyah hadir.
6. Aisyah yang tadinya dikhawatirkan sebagai beban sekarang malah menjadi penyemangat dan perekat cinta kasih di dalam keluarga kami. Keluarga menjadi satu-satunya yang terpenting di dalam hidup, saat ini dan di masa mendatang.
Tentunya pembelajaran hidup ini akan terus berlangsung seumur hidup. Di depan sana akan ada tantangan baru yang lebih besar, yang mungkin akan lebih mengguncang jiwa raga. Namun saya percaya, selama kita terus menjaga prasangka baik, bertahan sabar dan bersyukur, Allah akan memberikan yang terbaik walau jalan ke arah itu tidak mudah.
Untuk baca versi majalah silahkan klik tautan berikut ini