Kemenkes Akan Tingkatkan Jejaring Layanan Kesehatan Jiwa

Saat pandemi COVID-19, di tahun 2021 terjadi juga peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa sebesar 64,3 persen, baik itu karena menderita COVID-19 maupun karena masalah sosial ekonomi sebagai dampak pandemi
Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS). Pada 2022, peringatan HKJS mengangkat tema “Jadikan Kesehatan Mental dan Kesejahteraan untuk Semua sebagai Prioritas Global”. Sedangkan Indonesia mengangkat tema “Pulih Bersama Generasi Sehat Jiwa” yang diharapkan dapat menjadi momentum meningkatkan jejaring layanan kesehatan jiwa.
“Kesempatan ini ingin saya gunakan sebagai momentum bersama untuk memperkuat jejaring layanan kesehatan jiwa dari rumah sakit rujukan sampai dengan di masyarakat, puskesmas, bahkan bisa sampai kader,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, dr. Endang Sumiwi, MPH., ketika menyampaikan laporan kegiatan HKJS pada 10 Oktober 2022 yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Bali.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Herbuwono mengatakan, untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, diperlukan tiga strategi utama yakni advokasi, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga strategi tersebut, kata dia, harus dikolaborasikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta sektor swasta dan organisasi sosial. “Saya berharap dengan tiga strategi ini kita mampu mengurai masalah kesehatan yang ada saat ini,” ujarnya.
Menurut Dante, data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan peningkatan beberapa masalah kesehatan jiwa yaitu prevalensi rumah tangga dengan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa atau skizofrenia meningkat dari 1,7 permil pada 2013 menjadi 7 permil pada 2018. Kemudian prevalensi depresi pada 2018 sebesar 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk untuk umur lebih dari 15 tahun. Prevalensi gangguan mental emosional pada usia lebih dari 15 tahun juga meningkat dari 6 persen pada 2013 menjadi 9,8 persen atau sekitar 20 juta penduduk pada 2018.
“Saat pandemi COVID-19, di tahun 2021 terjadi juga peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa sebesar 64,3 persen, baik itu karena menderita COVID-19 maupun karena masalah sosial ekonomi sebagai dampak pandemi,” kata dia.
Endang menambahkan persentase penderita gangguan jiwa yang belum mendapatkan akses pelayanan sesuai standar juga masih tinggi yaitu sekitar 61,86 persen. Menurut dia, dari data pelayanan saat ini, baru sekitar 50 persen dari 10.321 puskesmas yang mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Jumlah psikiater yang ada juga masih jauh di bawah standar WHO yang menargetkan 1:30.000 penduduk, di Indonesia masih 1:200.000 penduduk. Tercatat juga masih ada empat provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa, dan baru 40 persen rumah sakit umum memiliki pelayanan jiwa.
Menurut WHO, pandemi COVID-19 telah menciptakan krisis global untuk kesehatan mental, memicu tekanan jangka pendek dan jangka panjang, serta merusak kesehatan mental jutaan orang. Diperkirakan peningkatan gangguan kecemasan dan depresi lebih dari 25 persen selama tahun pertama pandemi. Pada saat yang sama, layanan kesehatan mental telah sangat terganggu dan kesenjangan pengobatan untuk kondisi kesehatan mental telah melebar.