Galat basis data WordPress: [Duplicate entry '8388607' for key 'wpv2_visitors_stat.id']
INSERT INTO `wpv2_visitors_stat` (`time`, `ip`) VALUES ('1695403161', '3.236.237.61')

Deteksi Dini dan Dukungan Masyarakat » MediaKom
Maret 2023Media Utama

Deteksi Dini dan Dukungan Masyarakat

Kementerian Kesehatan mengandalkan program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang untuk mendeteksi dini anak penyandang autisme. Orang tua dan tenaga kesehatan perlu memahami tanda-tanda awalnya.

Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid. menyatakan belum ada data yang valid tentang pengidap gangguan spektrum autisme (GSA) di Indonesia. Namun, kata dia, bila merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang memperkirakan rasionya 1 banding 44 orang atau 2,3 persen dari populasi anak Indonesia, maka diperkirakan jumlahnya sekitar 1,9 juta anak. Minimnya data inilah yang, menurut Vensya, membuat GSA belum dapat diketahui beban penyakit yang sebenarnya sehingga autisme belum diangkat sebagai masalah kesehatan yang mendesak.

Vensya memaparkan bahwa permasalahan lain yang mengemuka dalam penanganan autisme adalah pemahaman publik, termasuk tenaga kesehatan, tentang autisme. Rendahnya pemahaman ini berakibat pada keterlambatan dan ketidaktepatan dalam pelayanan kesehatan serta munculnya stigma di masyarakat. Di sini orang tua dan keluarga di rumah memegang peranan penting untuk mengetahui gejala GSA sehingga, jika berinteraksi dengan anak, mereka tidak memberikan respons atau tanggapan yang tidak tepat. Orang tua perlu mengetahui tanda-tanda awal GSA dan membawanya ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).

“Sebenarnya autisme bisa dideteksi, bisa tahu dari respons atau gerak anak. Pada waktu melakukan tes-tes yang mudah atau melakukan suatu gerakan atau menyebutkan sebuah kata, apakah si anak dapat mengikuti atau tidak. Sebenarnya (bila anak tidak merespons), ini sudah menjadi kewaspadaan,” kata Vensya.

Tenaga kesehatan, menurut Vensya, juga harus memahami dengan baik soal GSA sehingga mampu melakukan deteksi dini untuk menentukan dan menetapkan penanganan yang tepat. Jika terdeteksi lebih dini, anak dapat diterapi lebih cepat sehingga dapat dikoreksi ketidakmampuannya dan dapat menjalankan fungsi-fungsi mental yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Tentu ini juga tergantung pada derajat ringan-beratnya gangguan yang dialami anak.

Penanganan autisme di Indonesia juga masih menghadapi tantangan lain, yaitu stigma di tengah masyarakat. Tanpa disadari banyak orang, stigma dapat berdampak buruk bagi para penyandang autisme. Orang tua atau keluarga menjadi enggan untuk menginformasikan dan memeriksakan anaknya ke fasyankes sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi dan tertangani.

“Akhirnya ini dianggap tabu, disembunyikan, kemudian jadi tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, bahkan tidak dikonsultasikan,“ ujar Vensya. “Pelaksanaan deteksi dini itu juga sering tidak berjalan dengan baik. Deteksi dini masih cukup rendah, baik pos pelayanan terpadu maupun fasyankes primer.”

Vensya menambahkan bahwa penanganan yang multidisiplin dan terintegrasi menuntut fasilitas kesehatan rujukan harus memiliki peralatan komplet dan layanan komprehensif. Ini tentu biayanya tinggi. Sayangnya, pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum mencakup semua jenis tindakan yang dibutuhkan untuk orang yang mengalami gangguan autisme.

Konsep integrasi dan multidisiplin diterapkan pemerintah sebagai kebijakan dalam pelayanan kesehatan autisme. Tidak hanya dari sisi kesehatan fisiknya, karena ada gangguan pada perkembangan otak, tetapi juga mentalnya. Intervensi ini yang dikenal dengan pendekatan berdasarkan siklus kehidupan manusia, mulai masa pranikah, kehamilan dan masa anak, hingga lanjut usia. Begitu juga dengan GSA.

Penanganan autisme mengandalkan kegiatan deteksi dini melalui program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2014 tentang Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan dan Gangguan Tumbuh Kembang Anak yang memuat SDIDTK. Program ini sudah dijalankan oleh pengelola program kesehatan ibu dan anak di fasyankes. Program ini menyasar anak-anak usia 0-6 tahun dan orang tuanya. Selain itu Direktorat Kesehatan Jiwa telah membuat Pedoman Deteksi Dini Kesehatan Jiwa di Fasyankes Primer tahun 2022 yang memuat tata cara penggunaan dan interpretasi instrumen skrining gangguan autisme pada anak balita.

“Para orang tua nanti akan diwawancara. Ada instrumennya untuk mengetahui dan mendalaminya. Sehingga nanti, dari hasil diskusi wawancara atau pendalaman itu, akan diketahui apakah anak itu normal atau memang ada gangguan,” kata Vensya. SDIDTK, kata dia, sangat urgen karena kegiatannya bertujuan untuk mengetahui sejak awal ada-tidaknya penyimpangan pertumbuhan, perkembangan, dan gangguan mental emosional pada anak.

Pada aspek kuratif, penangannya sangat bergantung pada kemampuan para terapis yang akan melakukan serangkaian tindakan komprehensif yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Kompleksitas penanganan dan tantangan dalam menghadapi pasien anak ini membutuhkan kesabaran ekstra dari para terapis atau dokter dan orang tuanya. Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah juga harus merencanakan peningkatan fasilitas multidisiplin di fasyankes, khususnya fasyankes rujukan tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, agar mampu melaksanakan terapi, rehabilitasi medik dan psikiatrik serta psikososial.

Selain itu, Vensya menekankan pada cakupan pembiayaan melalui JKN juga harus direalisasikan untuk menunjukkan kehadiran dan perhatian negara. Untuk itu, “(Kita perlu) mengusulkan kembali dengan justifikasi yang kuat, yang tentunya bersama para profesi (dokter, terapis, dll.) dan para pemerhati autisme, untuk bisa meningkatkan jaminan kesehatan pada berbagai pelayanan terapi dan rehabilitasi yang memang belum masuk dalam jaminan BPJS,” kata dia.

Menurut Vensya, peran lintas sektoral, terutama dari sektor pendidikan, diharapkan dapat meningkatkan dukungannya dalam pemenuhan hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, dan diterima di lingkungan sekitarnya. Peran serta masyarakat untuk meningkatkan kepedulian dan memberikan dukungan bagi keluarga yang mempunyai anak dengan autism perlu juga lebih digalakkan. “(Ini agar) mereka tidak menjadi halangan bagi anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan atau membawa seorang anak itu ke pelayan kesehatan dan sektor pendidikan agar mereka dapat sekolah dan belajar,” ujar Vensya. Dukungan masyarakat itu pada akhirnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan stigma negatif tersebut.

Untuk mengatasi berbagai tantangan dan mendorong peran serta publik, upaya promotif menjadi pilar penting. Edukasi perlu dilakukan terhadap masyarakat dan tenaga kesehatan yang menghadapi orang tua atau anak penyandang GSA. Setiap peringatan hari autisme, Kementerian Kesehatan telah mengadakan seminar berseri yang menyasar masyarakat umum, orang tua, dan tenaga kesehatan yang tujuannya untuk meningkatkan kepedulian dan literasi terhadap GSA.

Sebagai wakil dari pemerintah, Vensya berpesan kepada para orang tua tentang pentingnya penerimaan terhadap kondisi anaknya. Dengan begitu, orang tua akan memiliki tanggung jawab dan tekad yang kuat untuk bisa merawat anaknya yang memiliki kebutuhan khusus agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat dan berkualitas.

Menurut Vensya, keberhasilan terapi anak dengan GSA juga ditentukan oleh keterlibatan orang tua pada setiap tindakan. Secara psikologis, si anak akan memiliki kepercayaan diri karena merasa dalam perlindungan dan pengasuhan yang baik dari orang terdekatnya. “Hal tersebut dapat membantu terapi yang dilakukan. Secara mental anak akan merasa aman sehingga menjadi kooperatif dalam menjalankan terapi,” ujar wanita yang sudah puluhan tahun mengurusi beragam jenis penyakit di Kementerian Kesehatan.

Saat ini, kata Vensya, sudah banyak komunitas, termasuk di bidang autisme. Dia menganjurkan orang tua untuk bergabung dalam komunitas tersebut untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam perawatan atau pengasuhan anak dengan GSA. Dengan begitu, “Orang tua akan merasa tidak sendiri dan akan mendapat dukungan dari grup atau komunitasnya.” M

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *