Pahami, Lalu Bukalah Pintu Empati

Penyandang autisme memang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka perlu dipahami dan dibantu untuk dapat bermasyarakat.
Istilah “autis” pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner, psikolog dari John Hopkins University pada tahun 1943. Gejala autisme berbeda-beda pada setiap individu. Penyandang autisme mungkin tidak tertarik untuk terlibat dalam kegiatan sosial atau memiliki kesulitan memahami sinyal sosial yang diberikan orang lain, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau nada suara. Mereka dapat menghadapi masalah dalam komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Perilaku yang repetitif dan stereotip, seperti memutar benda, mengulang kata/kalimat, dan sensitif terhadap cahaya, sering dikaitkan dengan autisme.
Meskipun demikian, setiap individu dengan autisme dapat memiliki gejala dan intensitas yang berbeda. Oleh karena itu, diagnosis autisme harus dilakukan oleh profesional kesehatan yang berpengalaman dan terlatih.
Para ahli tidak tahu persis apa yang menyebabkan autisme. Menurut beberapa penelitian autisme bisa terjadi karena masalah di bagian otak yang menafsirkan masukan sensorik dan proses bahasa. Menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), autisme disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan.
Perilaku anak penderita autisme yang berbeda dari kebanyakan anak seusianya membuat mereka sering disalahpahami dan bahkan menjadi korban perisakan atau bullying. Perisakan ini jelas akan menyebabkan mereka stres, cemas, dan makin sulit bersosialisasi sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan.
Salah satu kasus perisakan terhadap penderita autisme yang sempat viral adalah kisah seorang pria bernama Bayu. Dia menjadi korban perisakan sejak kecil hingga sekolah menengah pertama dan bahkan mengaku sempat mengalami kekerasan seksual lantaran gesturnya dinilai feminin. Dia beberapa kali dicap “bencong” oleh teman-temannya. Dia tidak menyadari bahwa gestur yang terkesan feminin itu adalah gejala sindrom Asperger sampai dia memeriksakan diri ke psikolog.
Bayu mengaku beberapa kali melakukan ekokalia atau mengulang perkataan seseorang. Dia juga sering merasa sakit kepala saat mendengar suara nyaring. “Saat (masuk) kuliah diteriakin (senior) di Ospek itu kepala rasanya kesakitan dan kuping berdenging terus. Ini juga yang terjadi di kerjaan pertama saat saya dibentak-bentak atau di lingkungan bising. Kesakitan dan merasa nggak bisa ngapa-ngapain,” kata Bayu, seperti dikutip Detikcom.
Meskipun demikian, Bayu sering meraih prestasi dan penghargaan di sejumlah bidang, khususnya akademis. Dalam pekerjaan, Bayu pun kerap mendapat predikat karyawan teladan. Menurutnya, penanganan (terhadap penderita autisme) akan lebih optimal jika dilakukan sedini mungkin.
Penderita autisme memiliki keterbatasan dalam bersosialisasi dengan lingkungan. Oleh karena itu, lingkungannya, terutama lingkungan terdekat seperti keluarga, perlu belajar memahaminya dan membantu mereka untuk dapat hidup di tengah masyarakat. Untuk itu, ada beberapa hal sederhana yang Anda dapat lakukan saat berinteraksi dengan orang dengan autisme.
1. Berbicaralah secara jelas dan langsung. Berbicaralah dengan kalimat yang sederhana dan berikan petunjuk visual jika perlu.
2. Fokus pada minat dan kekuatan penderita autisme, lalu gunakan hal itu untuk membangun hubungan atau aktivitas yang menyenangkan bersama.
3. Hindari gangguan dan stimulasi berlebihan karena mereka mungkin mereka sangat sensitif terhadap stimulasi atau gangguan di lingkungan sekitar mereka, seperti suara keras atau cahaya yang terlalu terang.
4. Bersabar dan hormati mereka dalam memproses informasi. Berikan waktu yang cukup untuk mereka memahami dan merespons serta menghormati kebutuhan mereka.
5. Pelajari lebih banyak tentang autisme melalui berbagai sumber, seperti artikel, buku, dan video, yang dapat membantu meningkatkan pemahaman kita tentang autisme.
Pemerintah juga dapat melakukan banyak hal untuk membantu mengatasi stigma terhadap orang-orang dengan autisme. Berikut adalah beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan pemerintah.
1. Tingkatkan kesadaran tentang autisme dengan berkampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang autisme dan bagaimana cara berinteraksi dengan mereka.
2. Berikan dukungan dan sumber daya serta perkuat layanan umum bagi orang-orang dengan autisme dan keluarga mereka, seperti layanan dukungan keluarga, program pelatihan pekerjaan, dan layanan kesehatan mental.
3. Pemerintah dapat mengesahkan peraturan yang melarang diskriminasi terhadap orang dengan autisme dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan akses ke layanan kesehatan maupun layanan publik. Peraturan ini harus ditegakkan dengan tegas untuk memastikan bahwa orang-orang dengan autisme tidak mengalami diskriminasi dan dijamin mendapatkan perlakuan yang adil.
4. Libatkan orang dengan autisme atau keluarga/wali dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Pastikan bahwa kebutuhan dan perspektif mereka dipertimbangkan.
Dengan melakukan langkah-langkah ini, kita dan pemerintah dapat membantu mengurangi stigma terhadap orang-orang dengan autisme dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Penting bagi kita semua untuk memahami dan merangkul keberagaman dalam masyarakat kita, termasuk orang-orang dengan kondisi yang berbeda seperti penyandang autisme. M