Tangan Autis Pencipta Monster Lucu

Sophia Aradhu membantu putrinya yang menyandang autisme untuk berkembang dan maju. Bagaimana hobi corat-coret sang putri berkembang jadi bisnis Cutemonster?
Sophia Aradhu punya pengalaman sendiri dalam membesarkan anak berkebutuhan khusus. Putrinya, Anindhita Kirana Isa, yang biasa disapa Nindhita, menunjukkan gejala gangguan spektrum autisme sejak berusia masih di bawah lima tahun. Sophia menuturkan kepada Medakom pada Sabtu, 1 April lalu, bagaimana perjalanannya bersama Anindhita hingga putrinya punya bisnis dengan merek dagang Cutemonster.
Nindhita lahir pada 1999 dengan kondisi tubuh normal. Namun, ketika Nindhita mulai tumbuh, Sophia melihat sejumlah kejanggalan. Saat tiba masa seharusnya berjalan, Nindhita belum bisa berjalan. Putrinya juga sangat jarang menangis, kecuali saat popoknya penuh. Reaksi mata maupun badan terhadap suara dan mainan juga tidak tampak. Nindhita malah lebih banyak memandang ke arah tangan dan kuku
Kejanggalan pada Tumbuh Kembang
Sophia mencatat semua perkembangan anaknya secara rinci dalam sebuah jurnal. Dia lalu membandingkan hasil catatannya dengan standar tumbuh kembang anak pada umumnya. “Walaupun sebenarnya tidak boleh membandingkan diri atau sesuatu, karena akan membuat stres, tapi dulu hal itu saya lakukan, terutama membandingkan perkembangan Nindhita dengan standar anak sesuai umurnya,” kata wanita kelahiran tahun 1973 ini. “Contohnya, pada usia tertentu anak sudah bisa merespons bunyi-bunyian dan sebagainya, ternyata pada usia tersebut Nindhita tidak bisa melakukannya.”
Saat mengandung Nindhita, Sophia membaca berbagai buku mengenai kehamilan dan penyakit atau kelainan pada anak. Saat itu autisme belum menjadi isu yang cukup populer. Ia dulu menemukan artikel mengenai autisme di beberapa tabloid dan majalah. “Setelah Nindhita lahir dan beberapa bulan kemudian saya mengingat apa yang saya baca, beberapa poin pada anak saya mirip dengan artikel yang saya baca. Akhirnya, saat Nindhita berusia satu tahun saya merasa yakin bahwa dia memiliki kemiripan dengan gejala autisme.”
Upaya Mencari Jawaban
Sophia kemudian mencari dokter ahli untuk memastikan kekhawatirannya bahwa Nindhita menderita autisme. “Kebetulan pada saat Nindhita genap setahun, saya menemukan artikel terbaru mengenai autis di sebuah majalah dengan narasumber dokter ahli,” kata dia. Lalu ia mencari kontak dokter tersebut dan mendapatkannya.
Pada saat yang sama, mertua Sophia, yang juga berasal kalangan medis, berusaha mencari dokter yang paling tepat untuk menangani Nindhita. Singkat cerita, Sophia membawa Nindhita berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis anak yang mendalami perilaku autisme. Setelah melalui serangkaian tes dan wawancara, dokter memastikan bahwa Nindhita mengalami gangguan autisme.
Sophia juga memeriksakan kondisi fisik anaknya. Melalui berbagai tes, dari feses, darah, hingga urin, Nindhita diketahui mengalami kelainan fungsi metabolisme. Saluran pencernaannya justru menyimpan kotoran di dalam tubuh, sedangkan nutrisi dari asupan makanan dan minuman malah dibuang bersama feses. Dengan demikian, Nindhita menjalani pengobatan bagi pencernaannya sambil mengikuti terapi autisme.
Disiplin Menjalani Terapi
Sophia menuturkan bahwa Nindhita memiliki karakter hiperaktif dan dokter menganggap bahwa hal tersebut sebagai kelebihan. Autisme memiliki beragam sifat. Namun, secara garis besar terbagi menjadi dua: hiperaktif dan kebalikannya, hipoaktif. Apabila anak tersebut hipoaktif, seperti lemah dan tidak bersemangat, maka akan lebih sulit untuk dimotivasi untuk bergerak dan sebagainya. Nindhita cenderung sangat aktif sehingga tinggal dikurangi saja sifat hiperaktifnya. “Karena hiperaktif, anak saya banyak melakukan hal yang tidak produktif. Contohnya, berlari mengelilingi meja sampai satu jam sambil tertawa-tawa. Apabila dihentikan, maka Nindhita akan marah,” ujar Sophia.
Pada saat Nindhita berusia 1 tahun 4 bulan, Sophia memasukkannya ke Yayasan Mandiga (Mandiri dan Bahagia) yang dikelola dua orang dokter. Sophie kemudian mendapat jadwal aktivitas harian Nindhita yang sudah ditetapkan oleh dokter, mulai dari bangun pagi hingga tidur di malam hari. Dokter juga sangat disiplin dan tegas dalam memantau perkembangan pasiennya. “Sophia, ini adalah jadwal yang harus diikuti, ya,” kata Sophia meniru ucapan sang dokter. “Galak sekali dokternya. Jadwalnya sangat runut sedemikian rupa supaya Nindhita punya kedisiplinan.”
Sophia sadar bahwa anaknya butuh kedisiplinan dan kemandirian. Untuk itu ia disiplin mengikuti saran terapi yang diberikan yayasan. Tidak cukup dengan terapi di luar, ia putuskan untuk memanggil beberapa terapis ke rumah. Namun, masing-masing terapis saling berkomunikasi dan menggunakan “laporan” yang sama dan pendekatan yang sama, yaitu applied behaviour analysis (ABA). Setelah bulan ketiga mengikuti terapi, Nindhita mulai melakukan kontak mata dengan orang lain dan bersedia duduk untuk mengikuti instruksi terapisnya.
Menggali Potensi
Setelah rutin menjalani terapi perilaku selama 13 tahun, Nindhita menemukan kursus privat dari guru yang memiliki keahlian menangani anak autis. Kursus tersebut lebih kepada aspek pengetahuan dan akademiknya. Nindhita mengikuti kursus itu karena Sophia bercita-cita agar anaknya maju dan terus berkembang. Sophia juga menjadi terapis bagi Nindhita dengan mengajarkan bermain peran, bernyanyi, menari, bercerita, dan lain sebagainya.
Sejak balita Nindhita sudah mulai suka mencorat coret kertas dan bahkan dinding rumah. Sophia tidak pernah melarangnya menggambar di tembok dan hanya memberi tahun putrinya bahwa hanya bagian tertentu saja yang boleh dicorat coret. Saat itu Nindhita sudah mengenal disiplin dan cukup patuh. “Saya merasa bahwa gambar Nindhita di usia delapan tahun itu cukup unik dan lucu. Gambarnya memang aneh, bentuk monster. Badannya kambing, kakinya ayam, kepalanya ayam, dan ekornya kuda,” kata Sophia. Namun, saat itu Sophia menganggap kesukaan menggambar itu sebagai hal yang wajar pada anak-anak.
Sophia juga mengarahkan Nindhita untuk bermusik, seperti bermain drum, berolahraga wushu. Tujuannya untuk melatih sinkronisasi otak kanan dan kiri. Bagaimana tangan dan kaki berkoordinasi sambil menyelaraskan dengan irama lagu. Nindhita mengikuti kursus musik selama empat tahun. “Setelah lelah bermain drum, Nindhita berlatih wushu. Tujuannya agar tingkat hiperaktivitasnya lebih diarahkan kepada aktivitas yang berkarakter, aktif, dan kreatif. Jadi, tidak hanya lari-lari atau lompat lompatan saja,” kata Sophia.
Pelan-pelan, Sophia menyadari bahwa arah Nindhita tidak ke musik atau olahraga tetapi condong ke menggambar. Di lalu mendaftarkan putrinya ke kursus melukis. Ternyata gambar Nindhita di atas kanvas yang menggunakan cat minyak dan kuas tidaklah sebagus ketika ia menggambar di atas kertas. “Pelatihnya saat itu berkata, ‘Anindhita memang memiliki bakat menggambar. Tetapi ibu harus membedakan antara menggambar dan melukis. Nah, anak Ibu ahli di dalam menggambar,’,” Sophia menuturkan.
Sophia juga mengajak Nindhita ke pusat-pusat seni, seperti di Bulungan dan Blok M untuk melatih kemampuannya menggambar. Kebetulan pula Sophia punya kenalan seorang pelukis, yang akhirnya menjadi mentor Nindhita sampai sekarang. Sejak itu kemampuan menggambar Nindhita berkembang tanpa mengubah karakter gambar Nindhita yang menyukai monster.
Nindhita pada awalnya hanya menyukai beberapa warna, seperti hitam, putih, merah, dan biru. Bahkan, ia mengambek jika harus menggunakan warna lain. Setelah proses yang panjang Nindhita akhirnya mau menggunakan warna-warna cerah pada gambarnya. Sophia menjelaskan bahwa pewarnaan itu dibutuhkan agar orang tertarik. Gambar saja tidak cukup, tetapi harus diberi warna yang menarik. Apalagi jika gambarnya ingin dinikmati oleh orang lain.
Merintis Usaha
Seperti anak pada umumnya, Nindhita menjalani pendidikan formal di usia sekolahnya. Ketika perkembangannya semakin baik, orang tuanya memutuskan untuk mendaftarnya ke sebuah sekolah dasar swasta berbasis inklusif hingga sekolah menengah pertama dan kemudian baru masuk ke sekolah menengah atas biasa.
Sophia sebenarnya sudah berencana menguliahkan Nindhita di jurusan tertentu di sebuah universitas. Namun, kemampuan akademik Nindhita di bawah rata-rata sehingga Sophia menurunkan harapannya. Nindhita kemudian mengambil jurusan desain komunikasi visual di sebuah Universitas Trilogi Jakarta.
“Gambar inilah yang jadi satu-satunya modal Nindhita. Saya bilang ke Nindhita agar karyanya dikenal dan dihargai banyak orang, maka ia harus gambar yang bagus. Tapi, kalau gambar NIndhita hanya hitam-putih siapa yang mau melihat. Maka perhatian (mereka) harus ditarik dengan warna yang menarik. Warna-warna yang akhirnya saya yang bantu pilihkan,” kata Sophia.
Agar Nindhita bisa bertahan sampai ke depan, maka ia perlu belajar membuka usaha sendiri dari gambarnya. Nindhita juga masih perlu belajar dasar-dasar mengelola bisnis, seperti keuangan dan lain sebagainya.
Cutemonster
Karya-karya gambar Nindhita kemudian dipatenkan dengan nama Cutemonster pada tahun 2016 dan setahun kemudian produk tersebut diluncurkan. Menurut Nindhita, ia dulu hobi menggambar, dari lineart hingga menggambar bebas. Belakangan terbesit ide untuk membuat merek “Cutemonster”. Inspirasi gambarnya berasal dari imajinasinya. Saat kecil Nindhita memang gemar menonton anime Jepang mengenai berbagai monster, seperti Pokemon dan Digimon.
Tahun 2018, karya Nindhita mulai dikenal Banyak kalangan. Di tahun 2019, karyanya terpilih menjadi official merchandise untuk future park (Art event dari Jepang) di acara “autism world day” yang dipamerkan selama 6 bulan di Jakarta, berkolaborasi dengan selebriti Dian Sastro. Selanjutnya Banyak art event yang melibatkan cutemonster seperti: kolaborasi dengan sekolah fashion instituto di moda Burgo, Growprenuer BRI, art installation dengan Imagi space di Astha Distric selama 6 bulan. Beberapa design cutemonster juga terpilih untk dibuat fashion design dan diperagakan dalam fashion show di kota Koh Siung Taiwan. Lalu di tahun 2022, karya Jaket Nindhita Dipilih oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno dalam acara “Kata Kreatif”. Di tahun yang sama, salah satu design nindhita juga terpilih untuk dijadikan jersey dan jaket Jakarta Marathon 2022, bahkan jaket tsb sampai ke tangan board director German dan Boston Marathon.
Nindhita baru saja lulus dari univ Trilogi tahun ini. Ia juga bersiap untuk membuka studio dan display store di pasar Santa, sambil tetap memasarkan produknya secara online dan offline yaitu: MataLokal, Nurcorner, Preciouse One dan Artotel. M